Biodata

Inggit Putria Marga (1981-…): Penyair itu Dilahirkan Bukan Diciptakan

SALAH satu penyair yang menandai gairah sastra di Tanah Air era 2000-an adalah Inggit Putria Marga. Puisi wanita kelahiran Tanjungkarang, 25 Agustus 1981 ini mengundang perhatian kalangan sastrawan juga pembaca sastra.

Penyair yang juga jurnalis Oyos Saroso, misalnya, dalam sebuah diskusi bertajuk Bilik Jumpa Sastra di Gedung PKM Unila akhir tahun lalu, secara terbuka menyatakan Inggit sebagai penyair berkarakter kuat di Indonesia. Dari segi gender, ujar Oyos, Inggit termasuk penyair wanita yang sudah menemukan pola ucap sendiri.

Satu hal lagi, Oyos menyatakan Inggit tidak terjebak pada pola prosais sekalipun ia membuat puisi panjang-panjang. Ini juga yang membuat Oyos menyatakan Inggit adalah penyair terbaik di angkatannya. Bahkan Danarto, sastrawan sepuh Indonesia, menjadi salah seorang yang mengagumi Inggit.

Inggit mulai intens bersentuhan dengan sastra pada tahun 1999. Waktu itu, Inggit yang kuliah di Fakultas Pertanian Unila mengikuti workshop penulisan puisi di Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS).

Empat penyair yang memberi materi waktu itu: Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan Z.S., Ahmad Julden Erwin, dan Ari Pahala Hutabarat. “Dari situ saya mulai bersentuhan dengan puisi. Karya pertama saya dimuat di Lampung Post,” ujar Inggit kepada Lampung Post medio Juli lalu.

Pergumulan Inggit dengan sastra makin dalam setelah bergabung dengan Divisi Teater dan Sastra UKMBS. Penggalian estetis dijalani Inggit bersama seniornya di UKMBS seperti Ari Pahala. “Lulus kuliah, saya gabung dengan teman-teman di Komunitas Berkat Yakin (KoBER),” ujar putri kedua pasangan H. Syafruddin Umar dan Hj. Nurlela ini. Di komunitas inilah Inggit menggali estetitasi puisi bersama penyair Ari Pahala dan Jimmy Maruli Alfian.

“Penyair itu dilahirkan, bukan diciptakan. Klise memang apa yang saya ucapkan ini. Tapi, seperti ini yang mesti dijalani,” ujar Inggit.

Ya, mencipta puisi bagi Inggit bukan sekadar hobi yang hanya dilakukan sambil lalu. “Puisi sama seriusnya dengan fisika, kimia, dan matematika. Puisi itu sangat ilmiah. Kita tidak bisa membuat puisi hanya dari imajinasi. Puisi juga memerlukan riset hingga kita bisa memberi alasan mengapa membuat kalimat seperti ini, mengapa begitu, mengapa demikian,” kata penyair yang kini berusia 27 tahun ini.

Puisi juga sebuah kerja yang memerlukan totalitas, kesabaran, keyakinan, dan keseriusan. Selalu ada tantangan di dalamnya. Sebab itu, ia ingin terus menciptakan karya yang baik dan berkualitas. Ini yang jadi motif utama Inggit menciptakan puisi.

Kalaupun karya-karyanya mendapat apresiasi, baginya itu buah totalitas seorang penyair yang total menggeluti dunianya. Kepopuleran atau penghargaan bukan tujuan utama. “Tujuan utama mencipta puisi adalah puisi itu sendiri. Karya itu sendiri,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara ini.

Totalitas ini juga yang membuat cerpenis Arman A.Z. dalam suatu kesempatan menyatakan Inggit merupakan pionir penyair perempuan. Bukan hanya di Lampung, juga sastra Tanah Air. “Dimulai dari Inggit, sekarang bermunculan penyair-penyair perempuan Lampung yang karyanya muncul di media nasional. Mereka juga mampu berbicara di pentas bertaraf nasional hingga internasional,” kata Arman.

Anugerah Kebudayaan

Inggit termasuk sedikit perempuan-penyair asal Lampung yang mampu masuk pelataran kepenyairan nasional. Sajak-sajak alumnus Fakultas Pertanian Unila 2005 ini sarat simbol sekalipun dijalin dengan kata-kata yang biasa diucap dalam bahasa sehari-hari semisal penggalan sajak Janji Bunga Seperti Matahari yang dimuat Koran Tempo, 14 April 2005: ada janji lain/bunga matahari/selain/setia pada matahari/pada tanah,/ia pelajari/hakekat rumah//.

Sajak yang terilhami dari komik Jepang berjudul Sun Flower itu mengantar Inggit meraih penghargaan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2005 sebagai Penulis Puisi Terbaik.

Tahun 2008, tiga karya Inggit masuk 100 Sajak Terbaik Indonesia 2008 Anugerah Sastra Pena Kencana pilihan Yayasan Pena Kencana Indonesia. Satu puisi, Bulu Ayam, terbit di Lampung Post, 11 Februari 2007; dua lain di Republika pada 11 Maret 2007 (Di Pintu Gerbang) dan Koran Tempo, 24 Juni 2007 (Suara Usai Isya).

Inggit juga diundang berbagai kegiatan sastra tingkat nasional dan internasional, di antaranya International Literary Biennale 2005 (Komunitas Utan Kayu bekerja sama dengan Winternachten); Cakrawala Sastra Indonesia 2005 (Dewan Kesenian Jakarta); Festival Mei 2006 (Institut Nalar, Bandung), Temu Sastra MPU di Sanur-Bali 2006; Pentas Penyair Muda di Komunitas Utan Kayu, Jakarta, November 2007; dan International Kusamakura Haiku Competition (2007).

Jejak kepenyairan Inggit terbilang panjang. Namun, satu hal yang penting. Bagi Inggit, “Seniman itu yang dilihat kualitas karya, bukan hal-hal di luar itu. Karyalah yang mesti jadi tujuan, bukan karya sebagai alat mencapai tujuan,” ujarnya.

Idealisme berkarya ini juga yang mengantar Inggit sampai pada pernyataan: “Banyak penyair pusing kalau tidak diundang di acara ini, acara itu, tapi tenang-tenang saja kalau sajaknya buruk atau mengalami stagnasi.”
Bisa jadi, ini gugatan atau otokritik seorang Inggit Putria Marga. Karena toh, ia berkomitmen, “Saya terus belajar menciptakan karya berkualitas. Sampai kapan proses belajar ini berlangsung? Semoga sampai akhir usia saya. Saya berharap penyair-penyair di Lampung tetap konsentrasi pada penciptaan sehingga karya-karyanya diakui dan Lampung diperhitungkan di dunia sastra Indonesia.”

Mungkin benar kata Harris Effendy Thahar, cerpenis yang juga doktor di Fakultas Sastra dan Seni Universitas Andalan, Padang, Inggit, dan penyair muda angkatan 2000-an sejatinya dalam proses eksplorasi, pendalaman intelektualitas, dan pencapaian estetitasi karya. n

BIODATA

Nama: Inggit Putria Marga
Lahir: Tanjungkarang, 25 Agustus 1981.
Alamat: Jalan Sonokeling No. 12B, Pahoman, Bandar Lampung
Ayah: H. Syafruddin Umar
Ibu: Hj. Nurlela

Karya:
Penyeret Babi (kumpulan sajak, 2010), yang terpilih sebagai 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2010.
Sejumlah puisi juga terangkum dalam antologi bersama: 100 Puisi Terbaik Indonesia 2008 Anugerah Sastra Pena Kencana (Yayasan Pena Kencana Indonesia), Living Together (Komunitas Utan Kayu, Jakarta), Festival Mei (Institut Nalar, Bandung), Perjamuan Senja (Dewan Kesenian Jakarta), Gerimis dalam Lain Versi (Dewan Kesenian Lampung), Konser Penyair Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung), Gemilang Pesona Musim, Narasi dari Pesisir (Dewan Kesenian Lampung), Surat Putih 2 (Risalah Badai, Jakarta),  142 Penyair Menuju Bulan (Banjarmasin, 2006), Compassion and Solidarity (UWRF 2009), Traversing (Utan Kayu, 2009). Akulah Musi (PPN 2011), 60 Puisi Terbaik Anugerah Sastra Pena Kencana 2009 (Yayasan Pena Kencana, 2009).

Menghadiri Pekan Perempuan “Sepuluh Perempuan Sastrawan Baca Karya” di Komunitas Salihara (2009), mengikuti Ubud Writers and Readers Festival di Bali dan Utan Kayu Literary Biennale (2009), menghadiri Festival Puisi Antara Bangsa di Pangkor, Perak, Malaysia (2010) dan Pertemuan Penyair Nusantara di Palembang (2011).

Pentas Teater Bersama KoBER
Rashomon di Sanggar Baru TIM dan Teater Utan Kayu (2005), roadshow ke tiga provinsi (Bengkulu, Sumatera Barat, dan Riau) untuk pementasan Rashomon tahun 2007

Sumber:
Heri Wardoyo dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 421-424.


, Terimakasih telah mengunjungi Biodataviral.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Terviral.id, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top