
TIDAK banyak yang menggeluti dunia pemikiran sebagai pilihan hidup. Dan, Hamid Basyaib adalah nama yang sedikit itu. Kelahiran Bandar Lampung, 3 Juli 1962, itu konsisten memperjuangkan pemikiran demokrasi dan kebebasan berpolitik. “Sebab, semua manusia sejatinya sama,” katanya memberi alasan kiprahnya dalam pemperjuangkan kebebasan individu.
Kiprah Hamid dalam memperjuangkan demokrasi memang sudah dimulainya sejak muda. Membaca dan menulis adalah kegiatan yang disukainya sejak SD. Semua buku apa saja ia lalap. Semangat membacanya terfasilitasi oleh keluarganya yang punya banyak bacaan: Koran, majalah. Koran, majalah populer, novel, komik, dan buku-buku milik kakaknya habis dibaca Hamid, termasuk buku-buku terjemahan.
Masa kecil sampai remaja dilaluinya di Bandar Lampung. Ia menempuh SD dan SMP di Telukbetung. Pada jenjang SMA, Hamid sekolah di SMA PGRI 1 Rawa Laut, Bandar Lampung, tapi hanya sampai kelas II. Ia meneruskan sekolahnya di Yogyakarta.
Di Kota Pelajar ini minat membaca dan menulis Hamid makin bertumbuh. Di Yogya berbagai buku dan bahan bacaan bisa ditemui dengan mudah, amat berbeda dibandingkan di tanah kelahirannya.
Ketertarikannya dalam menulis ilmiah dibuktikan dengan mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Waktu itu ia baru masuk sekolah SMA di Yogyakarta. Penelitiannya tentang Aksara Bahasa Lampung.
Untuk mengikuti lomba ini ia rela pulang ke kampung selama dua pekan. Waktu yang singkat itu ia gunakan untuk mencari berbagai informasi seputar bahasa daerahnya. Dari penelitiannya, Hamid menyimpulkan bahasa Lampung termasuk bahasa yang modern karena memiliki aksara sendiri. Bahkan, ia menyimpulkan Lampung memiliki empat aksara. Sayang, ia tidak juara karena kurangnya persiapan dan bimbingan.
Jati dirinya sebagai seorang aktivis mulai terbentuk ketika memasuki jenjang kuliah. Selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Hamid sempat aktif di beberapa pers mahasiswa yaitu Muhibbah, Himmah, dan Keadilan. Karena aktif berorganisasi inilah akhirnya ia mengenal banyak aktivis kampus. Kemampuannya dalam menganalisis permasalahan pun semakin terasah.
Perjuangannya dalam memajukan pers mahasiswa (persma) di zamannya melahirkan kisah manis sekaligus getir. Saat itu pers mahasiswa menjadi saluran alternatif karena banyaknya pers umum yang dibungkam. Para penggiat persma seakan semakin bersemangat untuk menerbitkan koran yang mengusung kebebasan dan demokrasi. Akibat isinya yang terlalu bebas inilah majalah Muhibbah yang di pimpin Hamid diberedel. “Saya ingat benar, waktu itu tanggal 9 Desember 1982. Surat pemberedelannya ditembuskan ke 26 institusi, sampai kami benar-benar tidak bisa beraktivitas,” tuturnya.
Bakat menulisnya terus diasah dengan bekerja di beberapa media, antara lain Republika, Masa Kini, Kiblat, dan Ummat. Dari dunia jurnalistik ia merambah ke beberapa lembaga pejuang kebebasan seperti The Indonesian Institute, Jaringan Islam Liberal (JIL), Yayasan Pantau, Strategic Political Intellegence (Spin), dan Freedom Institute.
Kini Hamid menjadi direktur program di Freedom Institute, yang bermarkas di Jalan Irian No. 8, Menteng, Jakarta Pusat. Di lembaga ini berkumpul para intelektual muda seperti Rizal Mallarangeng, Nirwan Dewanto, Ahmad Sahal, Luthfi Assyaukanie, dan Ulil Abshar-Abdalla.
Freedom Institute adalah lembaga pemikiran nirlaba yang didirikan dan didanai pengusaha Aburizal Bakrie (kini Menko Kesesahteraan Rakyat, juga putra Lampung) pada 2001. Semangat dasar pendiriannya adalah untuk menggalakkan pemikiran, pertukaran gagasan, diskusi, penelitian, serta penulisan dan penerjemahan buku dalam tiga tema besar, yaitu demokrasi, nasionalisme, dan ekonomi pasar.
Kesamaan Hak
Selain untuk memperjuangkan kebebasan, motivasi Hamid mengambil jalur pemikiran karena ia ingin memahami dunia dengan cara sendiri. Ia ingin memahaminya dari permasalahan yang paling kompleks sampai paling sederhana. Beberapa fenomena yang menarik perhatiannya, yaitu tentang asal usul kehidupan, teori evolusi Darwin, dan material yang menjadi permulaan kehidupan ini.
Menurut Hamid, semua manusia berasal dari satu sel tunggal. Atas dasar inilah ia ingin memperjuangkan hak-hak kesamaan setiap manusia, tanpa membedakan etnis, suku maupun ras. Secara genetik pun setiap manusia itu sama saja. Jadi, sepantasnyalah jika manusia itu ditempatkan pada posisi yang sama (egaliter).
Sebagai seorang aktivis pejuang kebebasan dan hak asasi manusia (HAM), Hamid merasa malu dengan kondisi masyarakat yang saling berselisih. “Saya gelisah karena banyak kelompok yang mengatasnamakan Islam, seolah agama ini saling benci, padahal kan nggak, kita ini satu dan sama. Sebab itu, tidak satu orang pun yang punya hak tunggal untuk menafsirkan agama,” ujarnya.
Dalam sisi pemikiran, kata Hamid, agama harus dipisahkan dengan ilmu pengetahuan atau sistem pemerintahan. Karena agama tidak punya sistem pemerintahan. Sama halnya dengan wilayah batin yang tidak bisa dicampuri orang lain, apalagi negara. “Negara tidak bisa mengatur sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan batin warganya karena itu hak asasi setiap orang. Biarkan mereka meyakini apa yang menjadi keyakinannya.”
Hamid adalah pengagum sosok mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bagi dia, Gus Dur tidak hanya politisi yang cerdas tapi sekaligus pemikir sosial, agama, dan budaya yang punya komitmen terhadap kebebasan, pluralitas, dan keragaman. Pemikirannya tentang kondisi Islam di Indonesia sedikit banyak memengaruhi Hamid. Ia dan Gus Dur sama menginginkan kebebasan beragama, demokrasi, dan penghargaan terhadap HAM. Hamid dua kali menulis buku yang berkaitan dengan Gus Dur: Gitu Aja Kok Repot dan Saya Gak mau Jadi Presiden Kok.
Meski memperjuangkan kebebasan dan persamaan hak, Hamid tidak setuju dengan paham sosialis dan komunis. Menurut dia, paham seperti itu tidak relevan jika ingin menyamakan ekonomi dan kemampuan seseorang. Hakikatnya setiap orang memiliki kemampuan dan minat yang berbeda-beda. Begitu halnya untuk bidang pekerjaan yang akan dipilihnya.
Meski sudah dikenal sebagai pemikir, Hamid masih terus menambah ilmu di bidang politik. Ia mengambil kuliah pasca sarjana di jurusan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tapi, aktivitasnya yang padat di beberapa organisasi membuat kuliahnya tidak sampai selesai.
Sebagai orang Lampung, beribu kenangan akan terlintas begitu ia mendengar kata Lampung. Memang, ia telah melalui masa-masa kecilnya di Kota Tapis ini. Apalagi keluarga besarnya, ibu dan saudara-saudaranya, banyak yang menetap di Lampung. Makanan yang paling disukai, yaitu buah durian dan lempok. Di matanya, Lampung adalah provinsi yang memiliki segalanya.
Kemajemukan masyarakat Lampung, kata Hamid, sudah ada sejak dulu dan itu bisa menjadi modal untuk membangun Sang Bumi Ruwa Jurai. Ia pun merasa bangga dengan kondisi Lampung kini. Pembangunan fisik dan perekonomian bisa berkembang pesat. Untuk kehidupan kultural, Lampung perlu diperkaya agar muncul banyak kegiatan batin sehingga ada cara lain dalam melihat kehidupan.
Menurut Hamid, spiritualitas, dalam masyarakat tidak harus berkaitan dengan agama. Semua hal yang bisa dinikmati secara batin berarti termasuk spiritual itu. Berkesenian adalah juga salah satu aktivitas spiritual! Dan, Lampung, tidak kekurangan dalam soal yang ini! n
BIODATA
Nama: Hamid Basyaib
Tempat, tanggal lahir: Bandar Lampung, 3 Juli, 1962
Pekerjaan: Penulis dan aktivis pada Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal (JIL). Menulis di beberapa media cetak, anggota tetap juri Achmad Bakrie Award, dan aggota tetap yuri Ahmad Wahib Award.
Kantor: Freedom Institute, Jalan Irian No. 8, Menteng, Jakarta Pusat 10350, Indonesia, Telp. 021-3190-9226
Faksimile: 021-391-6981, http://www.freedom-institute.org dan www.islamlib.com
Rumah: Jalan J. Saidi No.5, Kelurahan Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, 10250, Indonesia
Pendidikan:
– Program Pascasarjana Ilmu Politik UGM (1991)
– S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (UII, 1990)
– SMA Putra Indonesia, Yogyakarta (1981)
– SMPN 1 Telukbetung, Lampung (1977)
– SDN 21 Telukbetung, Lampung (1974)
Riwayat pekerjaan:
2008, Direktur Eksekutif Strategic Political INtelligence (SPIN)
2007–sekarang, Anggota Dewan Panasihat Yayasan Pantau
2005–sekarang, Direktur Program Freedom Institute
2005–2007, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)
2004–sekarang, aAggota Dewan Panasihat The Indonesian Institute
1999–2003, Peneliti senior dan editor pada Yayasan Aksara
1996–1999, Redaktur Pelaksana, majalah mingguan Ummat
1993–1996, Staf litbang harian Republika
1987, Redaktur harian Masa Kini, Yogyakarta
1986, Redaktur majalah duabulanan Kiblat
Buku:
Selain menulis, menerjemahkan, Hamid juga menjadi editor untuk banyak buku. Total karya yang lahir dari tangannya tak kurang 31 buku, antara lain Berkaca ke Mancanegara: Kumpulan Tulisan tentang Politik Internasional (1998), Agar Indonesia Tetap Bernyanyi: Pergolakan Menjelang dan Pasca-Reformasi (1999), Gitu Aja Kok Repot!: Ger-geran Bersama Gus Dur (2001), Saya Nggak Mau Jadi Presiden Kok!: Ger-geran Lagi Bersama Gus Dur (2002).
Sumber:
Dari: Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 359-363

, Terimakasih telah mengunjungi Biodataviral.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Terviral.id, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.