
TEMAN-TEMANNYA di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Teater Suaka Budaya Jakarta, menjulukinya “Rajawali dari Selatan”. Ini lantaran tatapan dan sorot matanya bak rajawali. Ketajaman mata ini pula yang mengantar Aria Kusumadewa terlempar jauh dari komunitas sutradara jebolan IKJ.
Syahdan saat Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) disapih dari TVRI di era 1990-an dan pindah ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Aria termasuk sutradara muda yang diundang untuk membuat format baru TPI. Tapi, rapat yang dikomandoi aktor Mark Sungkar itu babak bingkas lantaran Aria menolak mentah-mentah konsep yang ditawarkan dan memilih tidak ikut karena tidak mau disebut sutradara kelas kambing.
Sikap dan pilihan Aria untuk tidak terjebak dalam arus Multivision Plus production house yang mendominasi tayangan televisi saat itu), begitu keras. Pilihannya untuk membuat film nyeleneh tentu saja tidak masuk kategori televisi.
Beruntung Aria menemui era reformasi yang memberikannya ruang untuk membuat film bergenre avant-garde, jenis film yang dibuat dengan semangat nyeleneh dan independen. Film jenis ini jelas tidak banyak dia pelajari di bangku kuliah Jurusan Sinematografi IKJ.
Itu pula pasal yang membuat Sumartono, dosen pembimbing yang juga sutradara senior, menolak karyanya lantaran dianggap film eksperimental. “Saya bingung kenapa ditolak, padahal saya membuat film sendiri, menulis cerita sendiri,” kata Aria. Dia sempat menangis. Namun, akhirnya lulus walau ijazahnya lama tidak diambil.
Sambil jadi tukang parkir, lalu calo jual-beli burung di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Aria kuliah di IKJ lulus tahun 1990. Dia mengambil tugas akhir film pendek berdurasi delapan menit berjudul Pelacur di Malam Lebaran. Untuk menyelesaikan tugas akhir, dia harus menguras seluruh isi tabungannya.
Jiwa pemberotaknya tertuang ketika menggarap film paling kontroversial seperti Beth, Novel Tanpa Huruf R, dan bersama Lola Amaria saat menggarap Betina. Ketika melunak dengan tawaran membuat sinema eletronik (sinetron) tahun 1995 lantaran “ingin menghidupi keluarga” sikap Aria tetap tidak terjebak sinetron dunia khayal.
Simak saja film Siluet (Anteve), Aku, Perempuan dan Lelaki Itu (Anteve, 1996), sinetron 26 episode Dewi Selebriti (Indosiar, 1998), Bingkisan untuk Presiden diproduksi pada 1999. Lewat film Bingkisan untuk Presiden, Aria ditahbiskan sebagai Sutradara Terpuji oleh Forum Film Bandung.
Film pertama Aria berjudul Senyum yang Terampas (1990) menelan biaya Rp40 juta. Film yang digarap bersama rekannya di IKJ Haryanto Corakh itu tidak laku. Saat perfilman lesu, Aria patah arang. Dia bekerja di perusahaan advertising membuat iklan dan videoklip untuk menghidupi keluarga.
Film Beth diproduksi tahun 2000 dan diputar secara gerilya di lebih dari 60 kampus di Indonesia pada awal 2002. Beth terpilih mewakili Indonesia untuk diputar di Festival Kesenian Homeport, Rotterdam, Belanda, 23–24 Juni 2001. Festival Homeport merupakan festival kesenian tahunan untuk kota-kota pelabuhan dunia yang bersifat nonkompetisi.
Proses kreatifnya mengalir begitu saja, seperti kehidupannya. Aria pernah bergaul dengan orang-orang yang sakit jiwa, lalu muncul ide membuat film Beth. Dia biasa nongkrong bersama anak-anak jalanan yang dia himpun dalam Komunitas Gardu di Gelanggang Olahgara Bulungan, Jakarta Selatan. Di sana dia bergaul dengan pekerja seks dan dari situ munculah ide membuat film tentang pelacur.
Berawal dari senang membaca komik karya Yan Mintaraga, Aria tertarik masuk IKJ dan mengambil Jurusan Sinematografi. “Waktu mendaftar di IKJ, saya disuruh menggabungkan sepuluh gambar dan dibuat berurutan sesuai dengan ceritanya. Gampang saja mengerjakannya karena dalam komik hal itu bisa kita temui,” kata pengagum aktris Merryl Streep ini.
Sebagai sutradara yang ingin kebebasan berekspresi, dia berpendapat peraturan yang mensyaratkan seseorang yang ingin menjadi sutradara harus lebih dahulu menjadi asisten sutradara selama lima kali harus dihapus. “Peraturan itu membunuh kreativitas,” kata pengagum aktor Marlon Brando itu.
Aria tidak hanya mencicipi dunia peran lewat jalur sutradara. Sebagai aktor, Aria bermain bersama Alex Komang dalam film Doea Tanda Mata arahan sutradara Teguh Karya. Film berlatar belakang tahun 1930-an ketika Indonesia masih disebut sebagai Hindia Belanda ini, memenangkan beberapa Piala Citra di Festival Film Indonesia. “Teguh Karya adalah sutradara panutan saya. Pak Teguh yang ikut menguatkan saya makin yakin dengan pilihan menjadi sutradara,” kata Aria.
Dia tidak setuju keberadaan lembaga sensor. “Yang disensor jangan karya seninya, tapi penontonnya. Misalnya 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas, dan sebagainya. Namun dalam hal distribusi, menurut Aria, pemerintah harus terlibat karena film bisa menjadi sumber devisa bagi negara kalau diedarkan ke negara lain.
Di balik sikap keras kepalanya, sesungguhnya Aria pria lembut. “Saya dibesarkan dalam keluarga Islam fundamentalis,” kata Aria Kusumadewa, mengenai masa kecilnya ketika bersekolah SD Negeri 5 Bandar Lampung (1974).
Setelah khatam Alquran, anak kelima dari sembilan bersaudara ini diwajibkan masuk pesantren. Tidak tahan aturan dan disiplin tinggi, anak pegawai pos ini, kabur dari rumah walau harus menanggung risiko dianggap murtad saat duduk di bangku SMP 6 Bandar Lampung (1980). Lulus SMA 2 PGRI Bandar Lampung (1983), Aria berkelana ke Jakarta dan kerap nongkrong di warung Badrun, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. “Saat itu kehidupan saya mengalir begitu saja. Hidup di jalanan, dipukuli orang, tapi punya pacar cantik,” kata Aria.
Aria menikah wanita berdarah Jepang, Mari Kond yang dikenalnya saat sama-sama kuliah di IKJ. Mereka dikaruniai dua anak, Mario Maralari dan Matahari Merah. Kepada anaknya dia berpesan, “Bapak memang tidak punya apa-apa untuk diwariskan, tapi bapak akan mewariskan karya-karya bapak dan itu menjadi suatu kebanggaan tersendiri buat kamu.”
Namun, perkawinan dengan wanita berkulit putih, murah senyum, dan manut khas wanita Jepang, kandas. Aria menyesalinya. “Ketika divorce (bercerai) dengan istri itu kesalahan terbesar dalam hidup saya. Aria adalah orang paling romantis ha…ha…ha. Sangat menghargai cinta. Artinya, romantis di sini berkaitan dengan apa yang pernah dilalui tiap orang, bukan melodrama yang menangis-nangis,” kata dia.
Dia memetik hikmahnya. “Perceraian mungkin jalan yang ditunjukkan Tuhan, supaya tetap bisa berkreasi,” kata dia.
Aria suka menonton film negara-negara Eropa Timur. “Mereka orang-orang tertekan sehingga realitas mereka itu sangat dekat dengan yang ada di sini,” kata dia. Saat proses produksi film, Aria sangat disiplin dalam segala hal. Di luar itu, Aria tidak punya aturan waktu yang jelas dan bisa tidur atau bangun sekenanya. Dia suka baca novel dan hobi memancing di laut. n
BIODATA
Nama: Aria Kusumadewa
Tempat, tanggal lahir: Bandar Lampung, 27 September 1963
Agama: Islam
Pendidikan:
– SD Negeri 5 Bandar Lampung (1974)
– SMP 6 Bandar Lampung (1980)
– SMA 2 PGRI Bandar Lampung (1983)
– Jurusan Sinematografi Institut Kesenian Jakarta (1990)
Karier:
– Sutradara sinetron dan film layar lebar, antara lain Aku, Perempuan dan Lelaki Itu (Anteve, 1997), Dewi Selebriti (Indosiar, 1998), Bingkisan untuk Presiden (RCTI, 2001), Beth (2000, diputar 2002)
Penghargaan:
– Sutradara Terpuji untuk film Bingkisan untuk Presiden dari Forum Film Bandung 2002
Keluarga :
Ayah: M. Kusumadewa
Ibu: Muhibbah
Istri: Mari Kond (cerai)
Anak :
1. Mario Maralari
2. Matahari Merah
Alamat Rumah dan Kantor:
Jalan Taman Pendidikan II/29, Tarogong, Cilandak Barat, Jakarta Selatan
Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 371-374

, Terimakasih telah mengunjungi Biodataviral.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Terviral.id, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.